Jumat, 26 Mei 2006

MUSIK KERONCONG DAN MASA DEPANNYA

MUSIK KERONCONG DAN MASA DEPANNYA

Oleh : Ir. Yuwono Sri Suwito, MM.

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Para hadirin peserta sarasehan musik keroncong yang berbahagia

Negara Indonesia terkenal dengan negara yang multi etnik dikarenakan Indonesia merupakan negara kepulauan dengan masyarakat dan suku serta kebudayaannya yang beraneka ragam dan plural. Tiap – tiap suku yang jumlahnya sekitar 500 – 600 mempunyai kebudayaan dan bahasa daerah sendiri yang berbeda dengan kebudayaan dan bahasa suku lain, demikian pula keseniannya.

Di dalam kebudayaan ada kesenian , yaitu ungkapan rasa keindahan yang ada di dalam jiwa manusia dalam hubungannya dengan lingkungan di sekitarnya. Kesenian merupakan salah satu bagian dari kebudayaan, berakar dalam kebudayaan. Wujud serta penampilan kesenian merupakan buah indah dari kebudayaan yang menjadi induknya. Kalau kebudayaan itu kita bandingkan dengan pohon dan kesenian adalah hasil pertumbuhannya maka akan menjadi jelas bahwa kesenian tidak dapat menyimpang dalam wujud serta sifatnya dari kebudayaan yang menghasilkannya (Selo Soemardjan, 2000). Seni musik merupakan salah satu cabang kesenian yang dapat berfungsi sebagai alat komunikasi manusia, baik yang berlainan bangsa, ras dan berlainan bahasa untuk menyampaikan perasaan senang, susah, cinta, terharu dan sebagainya secara indah. Dengan kata lain musik adalah bahasa universal.

SEJARAH PERKEMBANGAN MUSIK KERONCONG

Pada dasarnya kita mengenal musik pentatonis seperti pada gamelan yang kita miliki baik yang berlaras slendro maupun berlaras pelog dan musik diatonis yang juga disebut musik internasional. Musik diatonis sudah masuk ke Indonesia khususnya di Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat sejak jaman penjajahan Belanda dengan bukti di dalam Karaton Ngayogyakarta pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono II dibangun bangsal khusus bersegi delapan yang bernama Bangsal Mandhalasana. Tahun pembuatan bangsal tersebut ditandai dengan sengkalan memet berupa burung garuda bermahkota yang mencengkeram terompet dengan kedua kakinya, sedang kedua sayapnya mengembang. Sengkalan memet tersebut berbunyi Swara Garudha Sabdaning Ratu, yang menunjukkan angka tahun Jawa 1727.

Menurut beberapa sumber, musik berirama keroncong sudah ada di Indonesia sejak abad ke 16. Bahkan para pakar, para ahli musik jaman penjajahan mengatakan musik berirama keroncong telah masuk ke Indonesia pada abad ke 15 yang dibawa oleh pelaut-pelaut Portugis yang mencari rempah-rempah dengan alat cukulele yang menjadi instrumen khas musik keroncong. Di dalam perkembangannya tumbuh suburlah musik keroncong dengan beat tertentu dengan cello yang dipetik yang memberi nuansa khas musik keroncong. Namun ada pendapat lain yang menganggap musik irama keroncong adalah hasil karya nenek moyang bangsa Indonesia, dengan melihat dan berfikir berdasar logika yang timbul dengan mengingat kenyataan bahwa :

1. Di Portugal, baik di jaman dahulu maupun di jaman sekarang tidak terdapat musik yang namanya musik keroncong.

2. Di Portugal baik jaman dahulu dan sekarang tidak terdapat musik apapun namanya, yang irama/rythmenya seperti atau mirip dengan irama keroncong.

3. Di Portugal tidak ada group musik yang alat serta cara membunyikan alat musiknya tersebut seperti group keroncong.

4. Di Portugal tidak ada lagu semacam lagu keroncong yang memiliki kaidah/aturan istimewa, baik jumlah birama, pergantian akoord yang khas.

5. Kenyataan di Portugal tidak ada seorang pemusik yang mampu memainkan irama keroncong.

6. Di negara bekas jajahan Portugis yang lain tidak ada lagu keroncong atau musik keroncong, kecuali daerah bekas jajahan yang ada orang Indonesia (seperti Malaysia).

7. Orgen yang memiliki irama (Style List) keroncong baru ada dalam dasa warsa 80-an, itupun dikerjakan dan diprogram oleh seniman keroncong Indonesia.

8. Pakhariah Datuk Haji Lokman dari Institut Teknologi MARA, dalam tulisannya menyebut : "Keroncong dibawa masuk dari Indonesia". Di alinea lain beliau menulis : "Jenis musik yang menggunakan alat ini dan dimainkan secara struming yang menghasilkan bunyi kr.kr.kr dan berindentitikan musik Indonesia dinamakan musik keroncong".

Dengan keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa musik berirama keroncong bukan berasal dari Portugis. Di tanah jajahan Portugis yang lainpun tidak ada irama keroncongnya. Meskipun Edward van Nest mengatakan bahwa nama keroncong berasal dari gelang kaum Gypsi di Portugis. Meskipun Ensiklopedi Musik Indonesia Departemen Pendidikan menyatakan bahwa tahun 1930-an pengamen keroncong ngamen dari restoran ke restoran di Batavia dalam bahasa Portugis. Meskipun para pakar dan buaya keroncong jaman penjajahan berpandangan musik dan irama keroncong berasal dari Portugis, pandangan yang demikian perlu diteliti dan dikaji lebih lanjut. Bagaimanapun juga musik keroncong adalah genius product nenek moyang kita. Bagaimana cello dimainkan, bagaimana cuk dan cak dimainkan, semua ini genius product nenek moyang kita yang dekat sekali dengan seni daerah.

Sejarah musik keroncong adalah sejarah panjang yang penuh dengan evolusi dan revolusi. Baik peralatannya, cara memainkan peralatan itu sendiri maupun mengenai lagu-lagunya. Semua itu menunjukkan kreativitas nenek moyang kita sebagai artis keroncong dalam menanggapi tantangan jaman. Dalam beradaptasi dengan "nuting jaman kelakone", rebana diganti celo, gitar keroncong diganti ukulele dan benyo, tamborin hilang, mandolin diganti gitar dan tambur diganti bas. Suatu evolusi peralatan demi mengejar musik keroncong agar selalu digemari pecintanya. Demikian juga dalam bidang lagu. Keroncong yang tadinya berisi pantun kemudian menjadi berlirik syair. Semakin lama semakin bermutu. Apabila di blantika musik barat ada lagu-lagu Sonata, maka di keroncongpun muncul lagu Langgam yang mempunyai kaidah mengikat tersendiri. Juga muncul lagu Stambul baik Satu maupun Dua. Semua itu merupakan kreativitas dan hasil karya nenek moyang bangsa Indonesia, sama sekali tidak berbau Portugis.

Keakrabannya dengan seni daerah, akhirnya keroncong membuahkan kreatitivitas langgam bernotasi pentatonis baik pentatonis pelog maupun pentatonis slendro dengan menggunakan syair berbahasa Jawa yang disebut Langgam Jawa. Langgam Jawa dengan notasi pentatonis pelog yang masih terkenal sampai saat ini adalah lagu "Yen Ing Tawang " karya Andjar Any, dan Langgam Jawa dengan notasi pentatonis slendro karya Gesang dengan lagunya "Caping Gunung" dan "Ali-Ali". Bahkan lagu "Yen Ing Tawang" yang direkam Lokananta dalam Compact Disk (CD) dan dipamerkan di MIDDEN Perancis pada bulan Februari 1994 mengundang kagum George David Werss, Ketua Perserikatan Pencipta Lagu di USA yang kemudian mengundang group keroncong ke negara Paman Sam tersebut.

Musikus/komponis keroncong yang sangat berjasa dari Yogyakarta adalah Bapak Kusbini dan dari Surakarta adalah Bapak Gesang, disusul Ismanto, Darmanto, Andjar Any dan lainnya. Untuk pertama kalinya pemilihan Bintang Radio Republik Indonesia diselenggarakan pada tahun 1952 dengan mempertandingkan penyanyi-penyanyi pria dan wanita terbaik untuk jenis Keroncong, Hiburan dan Seriosa. Pada tahun 1953 pertama kali Kusbini menyanyikan lagu keroncong dengan aransemen orkes. Atas jasa Kusbini inilah Dewan Kesenian Propinsi D.I.Y (sekarang menjadi Dewan Kebudayaan Propinsi D.I.Y) pada saat itu memperjuangkan kepada Walikota Yogyakarta untuk memberi penghormatan kepada pahlawan musik keroncong Kusbini dengan merubah nama Jalan Pengok menjadi Jalan Kusbini, dimana rumah Pak Kusbini berada. Perjuangan ini berhasil dan bahkan perwakilan dari Kebudayaan Jakarta waktu itu mempunyai ide untuk merenovasi rumah Pak Kusbini. Namun ide tersebut sampai saat ini tidak terlaksana dan rumah Pak Kusbini tetap reot seperti dulu.

MASA DEPAN MUSIK KERONCONG

Di era globalisasi sekarang ini masyarakat Indonesia tidak dapat menghindari gelombang modernisasi yang datang dari berbagai penjuru di dunia, bahkan saat ini Revolusi 4 T. (technology, telecomunication, transportation & tourism) telah melanda dunia. Revolusi ini mempunyai globalizing force yang kuat sehingga batas antar daerah, antar negara semakin kabur, sehingga akan tercipta sebuah global village. Gelombang modernisasi itu di bidang ekonomi membawakan sistem ekonomi pasar dan di bidang politik serta pemerintahan menggantikan sistem feodal dan otoriter dengan sistem demokrasi, dan di bidang kebudayaan dan kesenian juga tampak pengaruh modernisasi, tetapi penyerapan unsur-unsur budaya modern berjalan parsial dan tidak menghilangkan unsur inti budaya asli.

Perbedaan pengaruh modernisasi pada kebudayaan masyarakat di kota dibandingkan dengan di desa terasa juga pada bidang kesenian. Kebudayaan masyarakat di kota terkena pengaruh kuat dan banyak dari usaha ekonomi yang selalu berorientasi pada keuntungan finansial (profit motive). Selaras dengan pengaruh ekonomi pada kebudayaan masyarakat kota itu, kesenian juga menjadi komoditi untuk dijual demi mendapatkan keuntungan finansial. Sebaliknya di dalam masyarakat yang masih jauh dari kota, terutama yang biasa dinamakan masyarakat adat, hubungan kesenian dengan landasan yang masih asli boleh dikatakan tetap berlaku. Mereka tidak mengejar profit , mereka berseni karena kewajiban sosial atau mencari kepuasan jiwa. Demikian halnya dengan musik keroncong yang pernah mencapai puncak keemasannya pada dekade 60-an sampai 70-an berangsur mulai berkurang penggemarnya dan dikhawatirkan akan punah. Itulah sebabnya pada hari ini diadakan sarasehan tentang musik keroncong yang diselenggarakan atas kerjasama Dewan Kebudayaan Propinsi D.I.Y dengan Taman Kesenian Taman Siswa untuk mengupayakan musik keroncong terangkat kembali sesuai pepatah Jawa "Padhang Jagade, Dhuwur Kukuse, Adoh Kuncarane". Bahkan ada tantangan yan sekaligus menjadi peluang bagi musik keroncong yang merupakan genius product nenek moyang kita dapat diangkat dan masuk dalam World Heritage List (Daftar warisan Budaya Dunia), menyusul Wayang dan Keris Indonesia yang telah mendahului mendapat pengakuan sebagai Warisan Budaya Dunia. Semoga !

Wassalamu'alaikum Wr. Wb

Tidak ada komentar:

Posting Komentar