Rabu, 24 Februari 2010

Mediasi dan Sinergi, 2010, suwarno

Mediasi dan Sinergi

(Mengkreasi Kemungkinan Kerjasama antara DK DIY dengan Institusi Budaya di DIY)

Pokok-pokok Pikiran: Suwarno Wisetrotomo

Persoalan yng mendesak, bahwa Yogyakarta yang riuh dengan agenda dan aktivitas budaya, tetapi seringkali tak maksimal gaung, ekses, dan dampaknya. Banyak aktivitas yang bermutu bagus, tetapi tidak termediasi dengan baik di antara para pemangku kepentingan (steak holder), dan di tengah masyarakat luas. Misalnya Biennale Jogja, FKY, Asia Tree, Jogja Mural Forum, Jogja Java Carnival, Jogja Art Fair (JAF), dan banyak lagi lainnya, yang pasti sangat mempertimbangkan mutu/kualitas, tetapi tak terpublikasi, dan kurang diapresiasi oleh khalayak luas.

Sekitar awal 1980-an (kalau tak salah mengingat), muncul istilah menarik (dimunculkan oleh pewacana maupun praktisi) yang disebut dua kutub penting, yang populer disebut sebagai “Poros Bulaksumur” (yang dianggap mewakili dunia intelektual) dan “Poros Gampingan” (yang dianggap mewakili dunia seniman dan kesenimanan; saya tidak tahu persis siapa yang memunculkan sebutan itu), yang masing-masing menunjukkan kiprahnya dengan kuat dan menarik. Dua kutub atau poros tersebut, menggunakan Malioboro sebagai ruang pertemuan (melting pot), dan sekaligus sebagai panggung berekspresi. Dua kutub dengan kekuatannya masing-masing, bertemu dalam satu ruang publik, dan kemudian bersama-sama memberikan tanda serta penanda, atau sebutlah “roh” bagi Yogyakarta. Maka, Yogyakarta (ketika itu) menjadi sebuah kota yang menarik, yang inspiratif, yang guyub, yang dinamis, yang dipercaya sebagai tempat penggemblengan diri yang ideal, yang bahkan tak bisa dicemburui oleh kota-kota lain di Indonesia.

Tentu saja Yogyakarta adalah sebuah kota yang terbuka, selalu menerima, dan selalu menunjukkan diri sebagai pionir untuk “menjadi Indonesia” terus-menerus. Selalu ada spirit “membanbgun Indonesia yang berbudaya” dari Yogyakarta. Kini, kutub-kutub (poros) yang lain bermunculan, demikian pula area melting pot nya menyebar, bahkan di setiap poros memiliki area atau ruang pertemuan. Kemudian setiap poros, juga tidak selalu mewakili bidang secara rigid, yang intelektual atau yang seniman (saja). Karena setiap poros juga mulai bersentuhan dengan kedua bidang (intelektual/wacana dan praktik seni). Persentuhan keduanya melahirkan pengayaan perspektif, baik dari aspek wacana, maupun dari aspek praktik budaya.

Saya membayangkan, Yogyakarta semestinya mampu sebagai model pembangunan kebudayaan, yang “menyejahterakan” (lahir-batin, intelkektual, religius-provan, dsb) masyarakat DIY, dan mampu menginspirasi kota-kota yang lain, bahkan menginspirasi Indonesia. Forum dialog yang diselenggarakan kali ini, seperti TOR yang sudah dikirimkan, merupakan upaya DK DIY untuk membangun ruang komunikasi, tentu untuk mengomunikasikan berbagai potensi dan problematika kebudayaan di DIY, dan kemungkinan-kemungkinan yang bisa dilakukan bersama atau kerjasama sinergis antarinstitusi kebudayaan di DIY. Untuk mewujudkan impian ini, antara lain bertumpu pada kata kunci “mediasi” (perantaraan; upaya meluaskan informasi dan komunikasi) dan “sinergi” (kerja bersama; sinergisme: kegiatan gabungan yang pengaruhnya/ hasilnya lebih besar, jika dibandingkan dengan kegiatan yang dilaksanakan sendiri-sendiri). Banyak contoh bisa disebut: Festival Nitiprayan (menjadi bahan penelitian Prof. Shin Nakagawa, dan dipresentasikan dalam forum Simposium Estetika Internasional di Kyoto 2008), Babad Kampung (ide cerdas dari Panitia FKY ke-20), beberapa aktivitas peristiwa seni rupa oleh Kedai Kebun Forum, Asia Tree, dll.

Upaya memediasikan dan bersinergi secara maksimal diawali dengan pemahaman terhadap peta kekuatan berupa kantong-kantong kebudayaan, dan merancang kemungkinan-kemungkinan yang bisa dilakukan bersama, atau setidaknya saling mendukung.

Peta kasar kantong-kantong kebudayaan di Yogyakarta:

Kantong-kantong kebudayaan ini bisa disebut pula sebagai ‘poros’, yang masing-masing memiliki unggulan. Poros-poros itu adalah sebagai berikut.

Poros Utara: UGM/FIB, Pusat Studi Kebudayaan UGM, Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasumantri, FIB/IRB USD, Ulen Sentalu, dll.

Poros Tengah (pusat): TBY, BBY, LIP, JNM, Cemeti Art House, Kedai Kebun Forum (KKF), Gedung Museum BI, Jogja Heritage Society (JHS), Karta Pustaka, dll.

Poros Selatan: Kampung Nitiprayan, Sangkring Art Space, Sarang Art Comunity, Babaran Segoro Gunung, ISI Yogyakarta, Yayasan Bagong Kussudiardja, Rumah Budaya Tembi, dll.

Peta itu, seperti sudah diurai secara singkat di muka, mengalami perluasan yang menarik pada 20 tahun terakhir. Maka, terkait dengan mediasi dan sinergi, terdapat berbagai kemungkinan yang bisa dilakukan. Misalnya:

1. Pertemuan berkala antarinstitusi kebudayaan. Pertemuan yang intensif dan produktif dengan ketiga poros (utara, tengah, dan selatan).

2. Pertukaran, atau mendiskusikan pemikiran-pemikiran (dan agenda-agenda) kebudayaan, hingga memiliki platform yang sama (dalam hal menggagas, merawat, dan menghidupkan kebudayaan). Dengan platform (bisa dimaknai sebagai cetak biru/blue print, atau grand design) yang dibuat bersama, maka setiap institusi memiliki prioritas (pemikiran dan agenda), sehingga setiap aktivitas yang diselenggarakan, pada dasarnya saling terkait, yang mengarah pada goal yang sama.

3. Pertukaran informasi dan agenda kebudayaan/kegiatan pertahun, yang tangible maupun intangible (idealnya difasilitasi oleh Dinas Kebudayaan Provinsi DIY).

4. Merumuskan dan mengagendakan kerja sinergi atas dasar pertemuan berkala dan pertemuan berkala, serta pertukaran informasi (agenda) kemudian menyusun kemungkinan-kemungkinan kerjasama.

5. DK DIY akan berfungsi sebagai mediator antarinstitusi, termasuk kepada media massa, kemudian merumuskan, mengomunikasikan, dan merekomendasikan kepada eksekutif (Gubernur dan Pemerintah Provinsi) serta mengomunikasikan kepada legislatif (DPRD). Sekali lagi, perlu ditegaskan, bahwa DK DIY bukan institusi eksekutor, bukan pelaksana kegiatan, tetapi bekerja di tataran pemikiran/kebijakan.

Forum ini bisa menginventarisasi sejumlah masalah, mengagendakan sejumlah kemungkinan yang bisa kita kerjakan bersama.

EKSISTENSI DAN KINERJA DEWAN KEBUDAYAAN PROVINSI DIY, 2010, Yuwono Sri Suwito