Minggu, 21 Mei 2006

KERONCONG ORKESTRA BENTUK UPAYA PELESTARIAN KERONCONG DI KALANGAN



1

Oleh:

Siswanto

Pengantar

Tatkala orang merasa bahwa musik keroncong mudah diterima dan
mengesankan permainannya, orang ingin mengenal lebih dekat dan
mempelajarinya. Namun itu hanya sebagian orang. Tat kala musik
keroncong yang sehari-hari melantun di berbagai media elektronika
ataupun di berbagai tempat pementasan dianggapnya sebagai ilustrasi
hidup. Mungkin lebih dari itu. Musik keroncong sudah merupakan
manifestasi jiwa bangsa kita, Indonesia, terlihat dalam ung

kapan
syair lagu-lagunya dan ungkapan musiknya, serta pola permainannya,
semua seakan merupakan gambaran kehidupan sosial-budaya bangsa
Indonesia.


Bisa
jadi orang tidak mencintai keroncong bisa jadi karena jarang menyimak
atau menjumpai pertunjukan keroncong, atau bahkan tidak pernah
mengenal sama sekali apa itu Keroncong. Seperti pepatah: Tak kenal
maka tak sayang. Di sisi lain ada juga orang yang sering
memperdengarkan ataupun menjumpai pertunjukannya namun tetap tidak
mencintai. Apakah ini karena Musik Keroncong adalah musik yang jelek,
Atau mungkin terkesan Kuno? Atau mungkin karena iramanya monoton?
Atau mungkin dipandang memiliki citra kampungan? Secara umum memang
selama ini musik keroncong telah tersoroti sebagai musik rakyat yang
memiliki citra kesederhanaan. Namun bagaimanapun juga kesemuanya itu
menjadi bahan pemikiran dan tanggung jawab kita bersama. Oleh karena
itu dalam sarasehan kali ini saya mengajak teman-teman pecinta musik
keroncong untuk ikut berupaya nguri-uri musik keroncong agar
bisa disenangi kalayak ramai hingga akhir jaman. Ingat! Musik
keroncong adalah musik rakyat, artinya diciptakan oleh rakyat,
dipopulerkan oleh rakyat dikembangkan oleh rakyat, dinikmati oleh
rakyat, dan pelestari-annya pun tergantung oleh rakyat.





Cikal
Bakal Keroncong


Mencermati
tulisan Dieter Mack dalam buku ‘Sejarah Musik jilid 4’
terbitan PML Yogyakarta tahun 1995, dia berpendapat bahwa ada seorang
peneliti bernama Bronia Kornhauser yang cenderung menyatakan bahwa
Keroncong merupakan contoh menarik hasil peleburan (Akulturasi)
dari berbagai sumber budaya yang menyatu dan menjadi suatu identitas
tersendiri.
1


Di
buku itu dijelaskan juga bahwa secara historis istilah ‘keroncong’
secara umum baru digunakan pada abad ke-20. Sedangkan sebelumnya
istilah itu hanya ditujukan untuk menyebutkan alat ukulele yang
secara onomatopoetis berbunyi “crong-crong”.
2


Struktur
harmoni dan melodi yang terkandung dalam musik keroncong pertama kali
terkesan dari musik Barat khususnya dari
jenis
musik rakyat Portugis
. Namun menurut pendapat Dieter Mack
sebenarnya tidak mutlak karena sebagian besar komunitas orang
Portugis di Batavia waktu itu
bukan
asli pribumi Portugis
, melainkan orang ‘Mesticos’
(yaitu campuran etnis Indonesia-Portugis yang beragama Kristen), dan
“Mardjikers” (yaitu budak belian yang dibebaskan asal
Afrika, India, Malaya, yang masuk Kristen juga). Mereka mayoritas
bermarkas di desa Tugu sebelah timur laut Jakarta. Hingga sekarang
para ahli keroncong rata-rata berpendapat bahwa
sejak
awal abad ke-20 gaya musik keroncong berakar dari sana.


Lain
halnya dengan pendapat Andjar Any. Beliau menyatakan:







Musik
keroncong bukan musik import”. “Bentuknya merupakan buah
karya nenek moyang kita. Bahkan perihal alat itupun tidak sekaligus
satu berseting seperti yang ada sekarang. Diperlukan waktu panjang
untuk menemukan diri. Dan ini merupakan kreatifitas nenek moyang kita
lagi”.
3








Perkembangan
Keroncong


Pada
perkembangan selanjutnya, keroncong mengalami berbagai pengaruh
misalnya dari negara Barat: Cha-Cha-Cha, Tango, Foxtrot, dll.
Sedangkan pengaruh dari dalam negeri sendiri sangat terasa terutama
di Jawa Tengah yakni dengan munculnya langgam Jawa.


Ketika
musik keroncong mulai dipengaruhi musik lain maka muncullah
standarisasi tersendiri, antara lain: Bentuk lagu (Keroncong Asli,
Langgam Keroncong, Stambul, dll.) ataupun penggunaan alat musik.
Bronia Kornhauser pernah menjelaskan bahwa standar utama alat musik
keroncong pada saat itu meliputi: Ukulele, Banjo, Gitar melodi,
Cello, Bass, Biola dan Flute. Pada saat itu Ukulele dan Banjo secara
onomatopoetis disebut juga sebagai “cuk” dan “cak”.
4


Perkembangan
musik keroncong hingga kini terasa agak tersendat, tidak secepat
musik-musik yang lain. Dalam harian Kedaulatan Rakyat tertanggal 9
Januari 2006 pernah dijelaskan oleh penyanyi keroncong senior
Yogyakarta bernama
Tatik Sri Mulyani (53) yang akan berangkat
haji saat itu bahwa perkembangan musik keroncong di Yogyakarta memang
kalah jauh dengan musik dangdut ataupun pop. Namun demikian dia masih
optimis bahwa musik keroncong tetap
bisa bertahan karena musik ini punya penggemar tersendiri
.





Pelestarian
Keroncong


Di
kampung Tugu, Cilincing Tanjung Priok Jakarta Utara, hingga sekarang
masih ada komunitas masyarakat keturunan Portugis.
Mereka
berkomitmen bahwa upaya pelestarian musik keroncong yang diwariskan
kepada mereka mempunyai nilai sejarah dan makna tradisi sebagai ujud
penghormatan terhadap leluhurnya.
Hal
ini terbukti ketika di berita harian Kompas 27 Desember 2005 bahwa
seorang lelaki tua sekaligus musisi keroncong gaya Tugu bernama
Marten Sopha, baginya tak ada musik yang bisa menggerakkan denyut
hidupnya kecuali keroncong. Dengan bangganya dia mengatakan:
“Keroncong Tugu lain dengan Keroncong Jawa, keroncong Tugu
begitu dimainkan, wuih, Mantaaaap !!! ”.


Adapun
di luar Tugu, perkembangan keroncong juga cukup menggembirakan. Sejak
terbentuknya HAMKRI (Himpunan Artis Musisi Keroncong Indonesia) di
tahun 1976 mulailah kemajuan-kemajuan musik keroncong diperhatikan
dan dibincangkan terutama oleh kelompok itu, meskipun di tahun-tahun
sebelumnya telah berkali-kali diadakan festifal Keroncong. Sejak itu
pula pihak-pihak (RRI, DEPDIKBUD, Taman Budaya, dsb) selalu aktif
menyelenggarakan festifal keroncong. Misalnya belum lama ini tepatnya
pada tanggal 19 Desember 2005 jam 19.00 wib Taman Budaya
Yogyakarta menyelenggarakan Festifal Musik Keroncong di Jl. Sri
Wedani no.1 Yogyakarta. Berdasarkan hasil pendataan pihak panitia di
wilayah ini tercatat 41 grup aktif dan pasif. Dari sekian yang maju
menjadi peserta hanya 10 grup, dan berdasarkan keputusan yuri yang
terdiri dari Drs. Singgih Sanjaya M.Hum (sebagai ketua), Sri Hartati,
dan Andi P. telah diputuskan bahwa peserta yang memenangkan festifal
itu adalah O.K. TRESNAWARA pimpinan Hendrikus Mulyadi.


Di
harian Kedaulatan Rakyat tertanggal 19 Desember 2005 ketua panitia
Dra. Niny Sularni menjelaskan bahwa
festifal ini merupakan
ajang pembelajaran sekaligus apresiasi terhadap
masyarakat luas, oleh karena itu panitia
sengaja memberi gratis tiket tanda masuk kepada yang ingin
menyaksikan. Tentunya dengan diadakannya festifal ini musik keroncong
diharapkan dapat berkembang dan bisa diterima oleh masyarakat luas.


Dengan
demikian timbul pertanyaan: “Apakah hasil penampilan musik
keroncong yang dibawakan oleh para peserta lebih-lebih peserta yang
juara di festifal ini sudah merupakan ujud
nyata
atau bukti seberapa jauh perkembangan keroncong pada
saat ini?



Kemasan
Keroncong dalam bentuk Orkestra


Istilah
‘orkestra’ dalam kamus musik yang disusun oleh M.Soeharto
berarti kelompok pemain musik yang secara bersama memainkan alat-alat
musiknya. Dalam hal ini bisa berupa formasi orkes simponi, light
orchestra, ataupun Philharmonic Orchestra.


Kemasan
Keroncong Orkestra berarti formasi penggabungan antara orkes
keroncong yang terdiri dari cak, cuk, gitar, cello dan bass, ditambah
alat-alat orkestra yang terdiri dari kelompok tiup kayu, tiup logam,
perkusi, alat gesek, dan alat-alat tambahan lainnya. Mereka bermain
sama-sama dalam bentuk garapan tertentu. tanpa mempenguri keutuhan
bentuk lagu aslinya.


Penggarapan
aransemen kemasan orkestra semacam ini tidak jauh berbeda dengan
penggarapan formasi keroncong asli. Semua terikat oleh melodi dan
akor yang digunakannya. Masalah pemilihan tonika (nada dasar) sangat
tergantung oleh ambitus penyanyinya.


Peran
orkes keroncong jelas sebagai musik dasar (rhythm section) yang
tugasnya mengiringi melodi-melodi baik pada vokal maupun alat-alat
orkestra. Cara bermainnyapun sama dengan permainan ketika tanpa
orkestra. Sedangkan alat-alat orkestra yang bersifat melodi seperti
flute, oboe, klarinet, trumpet, biola, dsb, umumnya berperan sebagai
pembawa melodi ataupun kontra melodi. Namun bisa juga sebagai penebal
akor ataupun penegas ritme


Kemasan
orkestra semacam ini lebih memberi keleluasaan bagi penata musik
(arranger) untuk membuat kreativitas ataupun eksperimen tersendiri.
Kemauan arranger memasukkan berbagai unsur musik seperti klasik,
jazz, dangdut, dsb, sah-sah saja sejauh tidak meninggalkan sentuhan
keroncong,





Penutup


Musik
keroncong tidak jauh berbeda dengan musik yang lain. Semua mengalami
perubahan. Perubahan bisa berupa perkem-bangan dan bisa berupa
kepunahan. Orang mengakui bahwa perkembangan musik keroncong diawali
dari yang lebih sederhana. Pengaruh sosial-budayapun mempengaruhi
pesatnya perkembangan. Sudah terbukti bahwa keroncong tidak luput
dari itu. Jadi sangatlah wajar apabila akhirnya di berbagai tempat
timbul kreatifitas keroncong yang berbeda-beda corak.


Di
lingkungan akademisi yang nota bene terdiri dari berbagai siswa
instrumen orkestra, dan didukung oleh orang-orang yang peduli dengan
musik keroncong maka sangat memungkinkan untuk membentuk komunitas
musik keroncong dengan format orkestra, meskipun dibawah pengelolaan
menejerial non profit


Yogyakarta,
25 Juni 2006





Bahan
Bacaan:



Agus
Srii Wijayadi, 2000, “Menggugat Kemandirian Musik Keroncong”
dalam Ruang Hidup Seni Tradisi, BP FASPER ISI, Yogyakarta.



Amir
Sodikin, 27 Desember 2005, “Kampung Tugu dan Keroncong
Pembebasan”, dalam Kompas. Jakarta.


Anjar
Any, 1983, “Keroncong Musik Nusantara”, dalam Perjalanan
Musik Di Indonesia,
PENSI ’83, Jakarta.


Budiman
BJ, 1979, Mengenal Keroncong Dari Dekat, Perpustakaan Akademi Musik
LPKJ, Jakarta.


Dieter
Mack, 1995, Sejarah Musik Jilid 4, PML, Yogyakarta.



Djuweni,
9 Januari 2006, ‘Keroncong Yogya Kalah Jauh’, Kedaulatan
Rakyat,
Yogyakarta.



Jayadi
Kastari, 23 Mei 2006, “Keroncong dilanda Akulturasi”,
dalam Kedaulatan Rakyat. Yogyakarta.



Jayadi
Kastari, 19 Desembewr 2005, “Malam ini, Festifal Musik
Keroncong di TBY”, Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta.



M.
Soeharto, 1992, KAMUS MUSIK, Gramedia Widiasarana Indonesia,
Jakarta.



1
Dieter Mack, Sejarah Musik jilid 4, PML, Yogyakarta, 1995, hlm
580-581




2
ibid, hlm 581




3
Anjar Any, 1983, “Keroncong Musik Nusantara”, dalam
Perjalanan Musik Di Indonesia, PENSI ’83, Jakarta.







4
Dieter Mack , op.cit, hlm583


Tidak ada komentar:

Posting Komentar