Jumat, 26 Mei 2006
MUSIK KERONCONG DAN MASA DEPANNYA
MUSIK KERONCONG DAN MASA DEPANNYA
Oleh : Ir. Yuwono Sri Suwito, MM.
Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Para hadirin peserta sarasehan musik keroncong yang berbahagia
Negara Indonesia terkenal dengan negara yang multi etnik dikarenakan Indonesia merupakan negara kepulauan dengan masyarakat dan suku serta kebudayaannya yang beraneka ragam dan plural. Tiap – tiap suku yang jumlahnya sekitar 500 – 600 mempunyai kebudayaan dan bahasa daerah sendiri yang berbeda dengan kebudayaan dan bahasa suku lain, demikian pula keseniannya.
Di dalam kebudayaan ada kesenian , yaitu ungkapan rasa keindahan yang ada di dalam jiwa manusia dalam hubungannya dengan lingkungan di sekitarnya. Kesenian merupakan salah satu bagian dari kebudayaan, berakar dalam kebudayaan. Wujud serta penampilan kesenian merupakan buah indah dari kebudayaan yang menjadi induknya. Kalau kebudayaan itu kita bandingkan dengan pohon dan kesenian adalah hasil pertumbuhannya maka akan menjadi jelas bahwa kesenian tidak dapat menyimpang dalam wujud serta sifatnya dari kebudayaan yang menghasilkannya (Selo Soemardjan, 2000). Seni musik merupakan salah satu cabang kesenian yang dapat berfungsi sebagai alat komunikasi manusia, baik yang berlainan bangsa, ras dan berlainan bahasa untuk menyampaikan perasaan senang, susah, cinta, terharu dan sebagainya secara indah. Dengan kata lain musik adalah bahasa universal.
SEJARAH PERKEMBANGAN MUSIK KERONCONG
Pada dasarnya kita mengenal musik pentatonis seperti pada gamelan yang kita miliki baik yang berlaras slendro maupun berlaras pelog dan musik diatonis yang juga disebut musik internasional. Musik diatonis sudah masuk ke Indonesia khususnya di Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat sejak jaman penjajahan Belanda dengan bukti di dalam Karaton Ngayogyakarta pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono II dibangun bangsal khusus bersegi delapan yang bernama Bangsal Mandhalasana. Tahun pembuatan bangsal tersebut ditandai dengan sengkalan memet berupa burung garuda bermahkota yang mencengkeram terompet dengan kedua kakinya, sedang kedua sayapnya mengembang. Sengkalan memet tersebut berbunyi Swara Garudha Sabdaning Ratu, yang menunjukkan angka tahun Jawa 1727.
Menurut beberapa sumber, musik berirama keroncong sudah ada di Indonesia sejak abad ke 16. Bahkan para pakar, para ahli musik jaman penjajahan mengatakan musik berirama keroncong telah masuk ke Indonesia pada abad ke 15 yang dibawa oleh pelaut-pelaut Portugis yang mencari rempah-rempah dengan alat cukulele yang menjadi instrumen khas musik keroncong. Di dalam perkembangannya tumbuh suburlah musik keroncong dengan beat tertentu dengan cello yang dipetik yang memberi nuansa khas musik keroncong. Namun ada pendapat lain yang menganggap musik irama keroncong adalah hasil karya nenek moyang bangsa Indonesia, dengan melihat dan berfikir berdasar logika yang timbul dengan mengingat kenyataan bahwa :
1. Di Portugal, baik di jaman dahulu maupun di jaman sekarang tidak terdapat musik yang namanya musik keroncong.
2. Di Portugal baik jaman dahulu dan sekarang tidak terdapat musik apapun namanya, yang irama/rythmenya seperti atau mirip dengan irama keroncong.
3. Di Portugal tidak ada group musik yang alat serta cara membunyikan alat musiknya tersebut seperti group keroncong.
4. Di Portugal tidak ada lagu semacam lagu keroncong yang memiliki kaidah/aturan istimewa, baik jumlah birama, pergantian akoord yang khas.
5. Kenyataan di Portugal tidak ada seorang pemusik yang mampu memainkan irama keroncong.
6. Di negara bekas jajahan Portugis yang lain tidak ada lagu keroncong atau musik keroncong, kecuali daerah bekas jajahan yang ada orang Indonesia (seperti Malaysia).
7. Orgen yang memiliki irama (Style List) keroncong baru ada dalam dasa warsa 80-an, itupun dikerjakan dan diprogram oleh seniman keroncong Indonesia.
8. Pakhariah Datuk Haji Lokman dari Institut Teknologi MARA, dalam tulisannya menyebut : "Keroncong dibawa masuk dari Indonesia". Di alinea lain beliau menulis : "Jenis musik yang menggunakan alat ini dan dimainkan secara struming yang menghasilkan bunyi kr.kr.kr dan berindentitikan musik Indonesia dinamakan musik keroncong".
Dengan keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa musik berirama keroncong bukan berasal dari Portugis. Di tanah jajahan Portugis yang lainpun tidak ada irama keroncongnya. Meskipun Edward van Nest mengatakan bahwa nama keroncong berasal dari gelang kaum Gypsi di Portugis. Meskipun Ensiklopedi Musik Indonesia Departemen Pendidikan menyatakan bahwa tahun 1930-an pengamen keroncong ngamen dari restoran ke restoran di Batavia dalam bahasa Portugis. Meskipun para pakar dan buaya keroncong jaman penjajahan berpandangan musik dan irama keroncong berasal dari Portugis, pandangan yang demikian perlu diteliti dan dikaji lebih lanjut. Bagaimanapun juga musik keroncong adalah genius product nenek moyang kita. Bagaimana cello dimainkan, bagaimana cuk dan cak dimainkan, semua ini genius product nenek moyang kita yang dekat sekali dengan seni daerah.
Sejarah musik keroncong adalah sejarah panjang yang penuh dengan evolusi dan revolusi. Baik peralatannya, cara memainkan peralatan itu sendiri maupun mengenai lagu-lagunya. Semua itu menunjukkan kreativitas nenek moyang kita sebagai artis keroncong dalam menanggapi tantangan jaman. Dalam beradaptasi dengan "nuting jaman kelakone", rebana diganti celo, gitar keroncong diganti ukulele dan benyo, tamborin hilang, mandolin diganti gitar dan tambur diganti bas. Suatu evolusi peralatan demi mengejar musik keroncong agar selalu digemari pecintanya. Demikian juga dalam bidang lagu. Keroncong yang tadinya berisi pantun kemudian menjadi berlirik syair. Semakin lama semakin bermutu. Apabila di blantika musik barat ada lagu-lagu Sonata, maka di keroncongpun muncul lagu Langgam yang mempunyai kaidah mengikat tersendiri. Juga muncul lagu Stambul baik Satu maupun Dua. Semua itu merupakan kreativitas dan hasil karya nenek moyang bangsa Indonesia, sama sekali tidak berbau Portugis.
Keakrabannya dengan seni daerah, akhirnya keroncong membuahkan kreatitivitas langgam bernotasi pentatonis baik pentatonis pelog maupun pentatonis slendro dengan menggunakan syair berbahasa Jawa yang disebut Langgam Jawa. Langgam Jawa dengan notasi pentatonis pelog yang masih terkenal sampai saat ini adalah lagu "Yen Ing Tawang " karya Andjar Any, dan Langgam Jawa dengan notasi pentatonis slendro karya Gesang dengan lagunya "Caping Gunung" dan "Ali-Ali". Bahkan lagu "Yen Ing Tawang" yang direkam Lokananta dalam Compact Disk (CD) dan dipamerkan di MIDDEN Perancis pada bulan Februari 1994 mengundang kagum George David Werss, Ketua Perserikatan Pencipta Lagu di USA yang kemudian mengundang group keroncong ke negara Paman Sam tersebut.
Musikus/komponis keroncong yang sangat berjasa dari Yogyakarta adalah Bapak Kusbini dan dari Surakarta adalah Bapak Gesang, disusul Ismanto, Darmanto, Andjar Any dan lainnya. Untuk pertama kalinya pemilihan Bintang Radio Republik Indonesia diselenggarakan pada tahun 1952 dengan mempertandingkan penyanyi-penyanyi pria dan wanita terbaik untuk jenis Keroncong, Hiburan dan Seriosa. Pada tahun 1953 pertama kali Kusbini menyanyikan lagu keroncong dengan aransemen orkes. Atas jasa Kusbini inilah Dewan Kesenian Propinsi D.I.Y (sekarang menjadi Dewan Kebudayaan Propinsi D.I.Y) pada saat itu memperjuangkan kepada Walikota Yogyakarta untuk memberi penghormatan kepada pahlawan musik keroncong Kusbini dengan merubah nama Jalan Pengok menjadi Jalan Kusbini, dimana rumah Pak Kusbini berada. Perjuangan ini berhasil dan bahkan perwakilan dari Kebudayaan Jakarta waktu itu mempunyai ide untuk merenovasi rumah Pak Kusbini. Namun ide tersebut sampai saat ini tidak terlaksana dan rumah Pak Kusbini tetap reot seperti dulu.
MASA DEPAN MUSIK KERONCONG
Di era globalisasi sekarang ini masyarakat Indonesia tidak dapat menghindari gelombang modernisasi yang datang dari berbagai penjuru di dunia, bahkan saat ini Revolusi 4 T. (technology, telecomunication, transportation & tourism) telah melanda dunia. Revolusi ini mempunyai globalizing force yang kuat sehingga batas antar daerah, antar negara semakin kabur, sehingga akan tercipta sebuah global village. Gelombang modernisasi itu di bidang ekonomi membawakan sistem ekonomi pasar dan di bidang politik serta pemerintahan menggantikan sistem feodal dan otoriter dengan sistem demokrasi, dan di bidang kebudayaan dan kesenian juga tampak pengaruh modernisasi, tetapi penyerapan unsur-unsur budaya modern berjalan parsial dan tidak menghilangkan unsur inti budaya asli.
Perbedaan pengaruh modernisasi pada kebudayaan masyarakat di kota dibandingkan dengan di desa terasa juga pada bidang kesenian. Kebudayaan masyarakat di kota terkena pengaruh kuat dan banyak dari usaha ekonomi yang selalu berorientasi pada keuntungan finansial (profit motive). Selaras dengan pengaruh ekonomi pada kebudayaan masyarakat kota itu, kesenian juga menjadi komoditi untuk dijual demi mendapatkan keuntungan finansial. Sebaliknya di dalam masyarakat yang masih jauh dari kota, terutama yang biasa dinamakan masyarakat adat, hubungan kesenian dengan landasan yang masih asli boleh dikatakan tetap berlaku. Mereka tidak mengejar profit , mereka berseni karena kewajiban sosial atau mencari kepuasan jiwa. Demikian halnya dengan musik keroncong yang pernah mencapai puncak keemasannya pada dekade 60-an sampai 70-an berangsur mulai berkurang penggemarnya dan dikhawatirkan akan punah. Itulah sebabnya pada hari ini diadakan sarasehan tentang musik keroncong yang diselenggarakan atas kerjasama Dewan Kebudayaan Propinsi D.I.Y dengan Taman Kesenian Taman Siswa untuk mengupayakan musik keroncong terangkat kembali sesuai pepatah Jawa "Padhang Jagade, Dhuwur Kukuse, Adoh Kuncarane". Bahkan ada tantangan yan sekaligus menjadi peluang bagi musik keroncong yang merupakan genius product nenek moyang kita dapat diangkat dan masuk dalam World Heritage List (Daftar warisan Budaya Dunia), menyusul Wayang dan Keris Indonesia yang telah mendahului mendapat pengakuan sebagai Warisan Budaya Dunia. Semoga !
Wassalamu'alaikum Wr. Wb
Minggu, 21 Mei 2006
lap sarasehan keroncong 2006
PANITIA
SARASEHAN MUSIK KERONCONG
Hal :LAPORAN
Lamp :Rincian LengkapKepada
Yth.: KETUA
DEWAN
KEBUDAYAAN PROPINSI DIY
Jl.Cendana 11 Yogyakarta
Denganini kami menyampaikan Laporan Pelaksanaan Kegiatan Dewan Kebudayaan
Propinsi DIY bekerjasama dengan Taman Kesenian Tamansiswa.
Hari /tanggal : Minggu, 25 Juni 2006
Jam :08.00 – 12.00 wibTempat : Gedung Data Tamansiswa
Jl. Tamansiswa No.25 Yogyakarta Narasumber:
1. Drs. Siswanto, M.Hum.
2. Nana Harmunah J. S.MusAcara ini telah kami laksanakan sesuai rencana dan berjalan tidak ada hambatan
apapun.
Laporan ini untuk menjadikan periksa adanya.
Terimakasih
Ketua
Drs. M. DIMYATI | Yogyakarta, Sekretaris RM. PRIO DWIARSO |
DAFTAR
ISI
Pengantar Laporan
Proposal
Susunan Panitia
Susunan Acara
Makalah Narasumber
Catatan Notulis
Kesimpulan
Foto – Foto Kegiatan
Penutup
IV. SUSUNAN ACARA
1. 08.00-09.00 : Regristasi dan Sajian Orkes Keroncong
2. 09.00-09.15 : Pembukaan
3. 09.15-09.45 : Keynote Speaker
Ir. Yuwono Sri Suwito, MM
4. 09.45-10.30 : Panel I dan Diskusi
Drs. Siswanto, M.Hum.
5. 10.30-11.00 : Orkes Keroncong
6. 11.00-11.45 : Panel II dan Diskusi
Nana Harmunah J, S.Mus.
7. 11.45-12.00 : Kesimpulan
8. 12.00 : Penutupan-Makan Siang
VII. KESIMPULAN
Dewan
Kebudayaan Propinsi DIY bekerjasama dengan Taman Kesenian Tamansiswa
telah menyelenggarakan sarasehan musik keroncong pada
Hari /
tanggal : Minggu, 25 Juni 2006
Jam :
08.00 – 12.00 wib
Tempat :
Gedung Data Tamansiswa
Jl.
Tamansiswa No.25 Yogyakarta
Sebagai narasumber : 1. Drs. Siswanto, M.Hum., Dosen musik Institut
Seni Indonesia
2. Nana Harmunah J. S.Mus, Dosen musik Institut Seni Indonesia
Undangan
untuk para pecinta dan simpatisan musik keroncong. Tamu yang hadir
dapat memenuhi kursi yang di sediakan dan aktif dalam diskusi. Dari
diskusi yang cukup menarik dan antusias dari hadirin dapat di ambil
kesimpulan yakni:
Payung
hukum untuk senimanLomba
musik keroncong di gairahkanLomba
menyanyi lagu keroncong lewat lembaga pendidikanLomba
mengarang lagu keroncongKesejahteraan
seniman keroncong perlu di perhatikanEmpu
atau tokoh yang berjasa di bidang musik keroncong perlu penghargaan.Jenis
musik keroncong harus di abadikan
Payung
hukum untuk seniman
Seniman pada umunya khususnya seniman musik perlu
perlindungan hukum tentang hak – hak kreatifitasnya. Memang
sudah ada undang – undang hak cipta karya seni. Namun belum
berlaku efektif. Masih banyak pelanggaran – pelanggaran hak
cipta dan kreatifitas seniman. Seperti pembajakan kaset, VCD,
menjiplak lukisan, dan lain – lain.
Lomba
musik keroncong di gairahkan
Sekitar tahun 70-an lomba musik keroncong sangat marak mulai
dari tingkat kelurahan, kecamatan, kabupaten, propinsi sampai pernah
beberapa kali tingkat nasional. Namun makin lama makin menyusut dan
akhir – akhir ini sangat jarang di selenggarakan lomba musik
keroncong tingkat nasional. Mungkin hal ini dikarenakan minat grup
musik keroncong sangat menurun atau tidak banyak lagi yang mau
mengeluarkan dana dalam kegiatan ini. Untuk menggairahkan lomba musik
keroncong kita mengharapka partisipasi para pengusaha untuk menjadi
sponsor dalam penyelenggaraannya. Jadi tidak hanya tergantung atau
menunggu program dari instansi resmi seperti RRI, TVRI, atau lembaga
pemerintah lain.
Lomba
menyanyi keroncong lewat lembaga pendidikan
Telah diadakan lomba berbagai jenis kegiatan seperti drum band, olah
raga, kesenian seperti dalam Hardiknas, Haornas, dan lain –
lain. Pada lomba jenis musik khususnya menyanyi materinya hanya lagu
perjuangan dan lagu pop. Untuk menanamkan apresiasi musik atau lagu
keroncong kepada pelajar dan agar lagu jenis keroncong tidak punah
perlu dalam materi lomba menyanyi di tambah lagu keroncong. Kalau
perlu lagu keroncong dijadikan lagu wajib dalam lomba menyanyi
tingkat SD, SLTP, dan SLTA.
Lomba
mengarang lagu keroncong
Lomba mengarang lagu keroncong untuk umum baik tingkat daerah maupun
tingkat nasional perlu di gairahkan. Kegiatan ini dapat di
selenggarakan oleh instansi terkait atau lembaga / perusahaan yang
mencintai musik dan sekaligus untuk promosi perusahaannya.
Kesejahteraan
seniman keroncong perlu diperhatikan
Saat ini kesejahteraan ekonomi seniman keroncong memang jauh
tertinggal di banding seniman musik pop atau ndangdut. Untuk ini kita
mengetuk nurani pengusaha terutama di bidang pariwisata termasuk
hotel dan restoran agar dapat mengangkat kembali musik keroncong atau
memperkenalkan kepada turis bahwa musik keroncong adalah warisan
budaya asli indonesia. Tentu saja imbalan jasa para senimannya perlu
diperhitungkan yang layak.
Empu
atau tokoh yang berjasa di bidang musik keroncong perlu penghargaan
Kita tahu bahwa di Yogyakarta memiliki banyak tokoh musik keroncong
yang pernah masyur namanya dan mengangkat nama Yogyakarta tetapi
keadaan ekonominya kurang menguntungkan. Apalagi kalau kita melihat
rumah dan tempat kursus musiknya buaya keroncong dan empu kita Bapak
Kusbini cukup memprihatinkan. Untuk itu perlu kita menggugah nurani
para seniman untuk membuat wadah tertentu agar dapat membantu seniman
yang sangat membutuhkan. Syukur kalau pihak pemerintah sempat
memikirkannya.
Jenis
musik keroncong harus di abadikan
Agar jenis musik keroncong sebagai salah satu kekayaan budaya
Indonesia tidak punah dan terlupakan namanya di hari nanti, perlu
diangkat dan diusulkan masuk kedalam WORLD HERITAGE LIST (Daftar
Warisan Budaya Dunia).
PENUTUP
Demikianlah
laporan kami dalam melaksanakan kegiatan Sarasehan Keroncong pada
hari Minggu 25 Juni 2006.
Ketua
Drs. M. DIMYATI | Yogyakarta, Sekretaris
RM. PRIO DWIARSO |
KERONCONG ORKESTRA BENTUK UPAYA PELESTARIAN KERONCONG DI KALANGAN
1
Siswanto
Pengantar Tatkala orang merasa bahwa musik keroncong mudah diterima dan
mengesankan permainannya, orang ingin mengenal lebih dekat dan
mempelajarinya. Namun itu hanya sebagian orang. Tat kala musik
keroncong yang sehari-hari melantun di berbagai media elektronika
ataupun di berbagai tempat pementasan dianggapnya sebagai ilustrasi
hidup. Mungkin lebih dari itu. Musik keroncong sudah merupakan
manifestasi jiwa bangsa kita, Indonesia, terlihat dalam ung
syair lagu-lagunya dan ungkapan musiknya, serta pola permainannya,
semua seakan merupakan gambaran kehidupan sosial-budaya bangsa
Indonesia.
Bisa
jadi orang tidak mencintai keroncong bisa jadi karena jarang menyimak
atau menjumpai pertunjukan keroncong, atau bahkan tidak pernah
mengenal sama sekali apa itu Keroncong. Seperti pepatah: Tak kenal
maka tak sayang. Di sisi lain ada juga orang yang sering
memperdengarkan ataupun menjumpai pertunjukannya namun tetap tidak
mencintai. Apakah ini karena Musik Keroncong adalah musik yang jelek,
Atau mungkin terkesan Kuno? Atau mungkin karena iramanya monoton?
Atau mungkin dipandang memiliki citra kampungan? Secara umum memang
selama ini musik keroncong telah tersoroti sebagai musik rakyat yang
memiliki citra kesederhanaan. Namun bagaimanapun juga kesemuanya itu
menjadi bahan pemikiran dan tanggung jawab kita bersama. Oleh karena
itu dalam sarasehan kali ini saya mengajak teman-teman pecinta musik
keroncong untuk ikut berupaya nguri-uri musik keroncong agar
bisa disenangi kalayak ramai hingga akhir jaman. Ingat! Musik
keroncong adalah musik rakyat, artinya diciptakan oleh rakyat,
dipopulerkan oleh rakyat dikembangkan oleh rakyat, dinikmati oleh
rakyat, dan pelestari-annya pun tergantung oleh rakyat.
Cikal
Bakal Keroncong
Mencermati
tulisan Dieter Mack dalam buku ‘Sejarah Musik jilid 4’
terbitan PML Yogyakarta tahun 1995, dia berpendapat bahwa ada seorang
peneliti bernama Bronia Kornhauser yang cenderung menyatakan bahwa
Keroncong merupakan contoh menarik hasil peleburan (Akulturasi)
dari berbagai sumber budaya yang menyatu dan menjadi suatu identitas
tersendiri.1
Di
buku itu dijelaskan juga bahwa secara historis istilah ‘keroncong’
secara umum baru digunakan pada abad ke-20. Sedangkan sebelumnya
istilah itu hanya ditujukan untuk menyebutkan alat ukulele yang
secara onomatopoetis berbunyi “crong-crong”.2
Struktur
harmoni dan melodi yang terkandung dalam musik keroncong pertama kali
terkesan dari musik Barat khususnya dari jenis
musik rakyat Portugis. Namun menurut pendapat Dieter Mack
sebenarnya tidak mutlak karena sebagian besar komunitas orang
Portugis di Batavia waktu itu bukan
asli pribumi Portugis, melainkan orang ‘Mesticos’
(yaitu campuran etnis Indonesia-Portugis yang beragama Kristen), dan
“Mardjikers” (yaitu budak belian yang dibebaskan asal
Afrika, India, Malaya, yang masuk Kristen juga). Mereka mayoritas
bermarkas di desa Tugu sebelah timur laut Jakarta. Hingga sekarang
para ahli keroncong rata-rata berpendapat bahwa sejak
awal abad ke-20 gaya musik keroncong berakar dari sana.
Lain
halnya dengan pendapat Andjar Any. Beliau menyatakan:
”Musik
keroncong bukan musik import”. “Bentuknya merupakan buah
karya nenek moyang kita. Bahkan perihal alat itupun tidak sekaligus
satu berseting seperti yang ada sekarang. Diperlukan waktu panjang
untuk menemukan diri. Dan ini merupakan kreatifitas nenek moyang kita
lagi”.3
Perkembangan
Keroncong
Pada
perkembangan selanjutnya, keroncong mengalami berbagai pengaruh
misalnya dari negara Barat: Cha-Cha-Cha, Tango, Foxtrot, dll.
Sedangkan pengaruh dari dalam negeri sendiri sangat terasa terutama
di Jawa Tengah yakni dengan munculnya langgam Jawa.
Ketika
musik keroncong mulai dipengaruhi musik lain maka muncullah
standarisasi tersendiri, antara lain: Bentuk lagu (Keroncong Asli,
Langgam Keroncong, Stambul, dll.) ataupun penggunaan alat musik.
Bronia Kornhauser pernah menjelaskan bahwa standar utama alat musik
keroncong pada saat itu meliputi: Ukulele, Banjo, Gitar melodi,
Cello, Bass, Biola dan Flute. Pada saat itu Ukulele dan Banjo secara
onomatopoetis disebut juga sebagai “cuk” dan “cak”.4
Perkembangan
musik keroncong hingga kini terasa agak tersendat, tidak secepat
musik-musik yang lain. Dalam harian Kedaulatan Rakyat tertanggal 9
Januari 2006 pernah dijelaskan oleh penyanyi keroncong senior
Yogyakarta bernama Tatik Sri Mulyani (53) yang akan berangkat
haji saat itu bahwa perkembangan musik keroncong di Yogyakarta memang
kalah jauh dengan musik dangdut ataupun pop. Namun demikian dia masih
optimis bahwa musik keroncong tetap
bisa bertahan karena musik ini punya penggemar tersendiri.
Pelestarian
Keroncong
Di
kampung Tugu, Cilincing Tanjung Priok Jakarta Utara, hingga sekarang
masih ada komunitas masyarakat keturunan Portugis. Mereka
berkomitmen bahwa upaya pelestarian musik keroncong yang diwariskan
kepada mereka mempunyai nilai sejarah dan makna tradisi sebagai ujud
penghormatan terhadap leluhurnya. Hal
ini terbukti ketika di berita harian Kompas 27 Desember 2005 bahwa
seorang lelaki tua sekaligus musisi keroncong gaya Tugu bernama
Marten Sopha, baginya tak ada musik yang bisa menggerakkan denyut
hidupnya kecuali keroncong. Dengan bangganya dia mengatakan:
“Keroncong Tugu lain dengan Keroncong Jawa, keroncong Tugu
begitu dimainkan, wuih, Mantaaaap !!! ”.
Adapun
di luar Tugu, perkembangan keroncong juga cukup menggembirakan. Sejak
terbentuknya HAMKRI (Himpunan Artis Musisi Keroncong Indonesia) di
tahun 1976 mulailah kemajuan-kemajuan musik keroncong diperhatikan
dan dibincangkan terutama oleh kelompok itu, meskipun di tahun-tahun
sebelumnya telah berkali-kali diadakan festifal Keroncong. Sejak itu
pula pihak-pihak (RRI, DEPDIKBUD, Taman Budaya, dsb) selalu aktif
menyelenggarakan festifal keroncong. Misalnya belum lama ini tepatnya
pada tanggal 19 Desember 2005 jam 19.00 wib Taman Budaya
Yogyakarta menyelenggarakan Festifal Musik Keroncong di Jl. Sri
Wedani no.1 Yogyakarta. Berdasarkan hasil pendataan pihak panitia di
wilayah ini tercatat 41 grup aktif dan pasif. Dari sekian yang maju
menjadi peserta hanya 10 grup, dan berdasarkan keputusan yuri yang
terdiri dari Drs. Singgih Sanjaya M.Hum (sebagai ketua), Sri Hartati,
dan Andi P. telah diputuskan bahwa peserta yang memenangkan festifal
itu adalah O.K. TRESNAWARA pimpinan Hendrikus Mulyadi.
Di
harian Kedaulatan Rakyat tertanggal 19 Desember 2005 ketua panitia
Dra. Niny Sularni menjelaskan bahwa festifal ini merupakan
ajang pembelajaran sekaligus apresiasi terhadap
masyarakat luas, oleh karena itu panitia
sengaja memberi gratis tiket tanda masuk kepada yang ingin
menyaksikan. Tentunya dengan diadakannya festifal ini musik keroncong
diharapkan dapat berkembang dan bisa diterima oleh masyarakat luas.
Dengan
demikian timbul pertanyaan: “Apakah hasil penampilan musik
keroncong yang dibawakan oleh para peserta lebih-lebih peserta yang
juara di festifal ini sudah merupakan ujud
nyata atau bukti seberapa jauh perkembangan keroncong pada
saat ini?
Kemasan
Keroncong dalam bentuk Orkestra
Istilah
‘orkestra’ dalam kamus musik yang disusun oleh M.Soeharto
berarti kelompok pemain musik yang secara bersama memainkan alat-alat
musiknya. Dalam hal ini bisa berupa formasi orkes simponi, light
orchestra, ataupun Philharmonic Orchestra.
Kemasan
Keroncong Orkestra berarti formasi penggabungan antara orkes
keroncong yang terdiri dari cak, cuk, gitar, cello dan bass, ditambah
alat-alat orkestra yang terdiri dari kelompok tiup kayu, tiup logam,
perkusi, alat gesek, dan alat-alat tambahan lainnya. Mereka bermain
sama-sama dalam bentuk garapan tertentu. tanpa mempenguri keutuhan
bentuk lagu aslinya.
Penggarapan
aransemen kemasan orkestra semacam ini tidak jauh berbeda dengan
penggarapan formasi keroncong asli. Semua terikat oleh melodi dan
akor yang digunakannya. Masalah pemilihan tonika (nada dasar) sangat
tergantung oleh ambitus penyanyinya.
Peran
orkes keroncong jelas sebagai musik dasar (rhythm section) yang
tugasnya mengiringi melodi-melodi baik pada vokal maupun alat-alat
orkestra. Cara bermainnyapun sama dengan permainan ketika tanpa
orkestra. Sedangkan alat-alat orkestra yang bersifat melodi seperti
flute, oboe, klarinet, trumpet, biola, dsb, umumnya berperan sebagai
pembawa melodi ataupun kontra melodi. Namun bisa juga sebagai penebal
akor ataupun penegas ritme
Kemasan
orkestra semacam ini lebih memberi keleluasaan bagi penata musik
(arranger) untuk membuat kreativitas ataupun eksperimen tersendiri.
Kemauan arranger memasukkan berbagai unsur musik seperti klasik,
jazz, dangdut, dsb, sah-sah saja sejauh tidak meninggalkan sentuhan
keroncong,
Penutup
Musik
keroncong tidak jauh berbeda dengan musik yang lain. Semua mengalami
perubahan. Perubahan bisa berupa perkem-bangan dan bisa berupa
kepunahan. Orang mengakui bahwa perkembangan musik keroncong diawali
dari yang lebih sederhana. Pengaruh sosial-budayapun mempengaruhi
pesatnya perkembangan. Sudah terbukti bahwa keroncong tidak luput
dari itu. Jadi sangatlah wajar apabila akhirnya di berbagai tempat
timbul kreatifitas keroncong yang berbeda-beda corak.
Di
lingkungan akademisi yang nota bene terdiri dari berbagai siswa
instrumen orkestra, dan didukung oleh orang-orang yang peduli dengan
musik keroncong maka sangat memungkinkan untuk membentuk komunitas
musik keroncong dengan format orkestra, meskipun dibawah pengelolaan
menejerial non profit
Yogyakarta,
25 Juni 2006
Bahan
Bacaan:
Agus
Srii Wijayadi, 2000, “Menggugat Kemandirian Musik Keroncong”
dalam Ruang Hidup Seni Tradisi, BP FASPER ISI, Yogyakarta.
Amir
Sodikin, 27 Desember 2005, “Kampung Tugu dan Keroncong
Pembebasan”, dalam Kompas. Jakarta.
Anjar
Any, 1983, “Keroncong Musik Nusantara”, dalam Perjalanan
Musik Di Indonesia, PENSI ’83, Jakarta.
Budiman
BJ, 1979, Mengenal Keroncong Dari Dekat, Perpustakaan Akademi Musik
LPKJ, Jakarta.
Dieter
Mack, 1995, Sejarah Musik Jilid 4, PML, Yogyakarta.
Djuweni,
9 Januari 2006, ‘Keroncong Yogya Kalah Jauh’, Kedaulatan
Rakyat, Yogyakarta.
Jayadi
Kastari, 23 Mei 2006, “Keroncong dilanda Akulturasi”,
dalam Kedaulatan Rakyat. Yogyakarta.
Jayadi
Kastari, 19 Desembewr 2005, “Malam ini, Festifal Musik
Keroncong di TBY”, Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta.
M.
Soeharto, 1992, KAMUS MUSIK, Gramedia Widiasarana Indonesia,
Jakarta.
3
Anjar Any, 1983, “Keroncong Musik Nusantara”, dalam
Perjalanan Musik Di Indonesia, PENSI ’83, Jakarta.