Senin, 04 Juni 2007

REVITALISASI PERINGATAN YOGYAKARTA KEMBALI



NOTULA

SARASEHAN DEWAN KEBUDAYAAN PROVINSI DIY

REVITALISASI PERINGATAN YOGYAKARTA KEMBALI

Di Dinas Sosial Provinsi DIY Tanggal 22 November 2007

Sarasehan Dewan Kebudayaan Provinsi DIY kali ini pada intinya ingin menetapkan tanpa ragu-ragu bahwa peristiwa Yogyakarta Kembali terjadinya adalah pada tanggal 29 Juni 1949, sesuai dengan prasasti/monumen yang ada di sebelah utara Hotel Garuda. Sarasehan dilakukan karena adanya pendapat penguasa sebelumnya, Jendral Soeharto, yang menyebutkan bahwa peristiwa Yogyakarta Kembali terjadi tanggal 6 Juli 1949. Hal ini dikemukakan oleh Ir. Yuwono Sri Suwito, MM, selaku Ketua Dewan Kebudayaan Provinsi DIY, pada saat pembukaan sarasehan.

Pendapat tersebut di atas didukung oleh fakta-fakta sejarah yang dibacakan langsung oleh Romo Tirun Marwito. Dari buku Gelora Api Revolusi suntingan Colin Wild dan Peter Carey, beliau memaparkan bahwa peristiwa Yogyakarta Kembali terkait erat dengan peristiwa Serangan Oemoem 1 Maret dan bagaimana peran Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Seperti sudah diketahui bahwa pada tanggal 5 September 1945 adalah hari bersejarah karena Yogyakarta yang bersifat kerajaan bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pada saat timbul kekacauan di Ibukota Jakarta karena para pemimpin RI dikejar-kejar Belanda, atas izin Sultan maka para pemimpin dan pemerintahan RI dipindahkan ke Yogyakarta yaitu tanggal 4 Januari 1946. Tiga tahun kemudian, tepatnya tanggal 19 Desember 1948, Belanda melaksanakan aksi polisi ke Yogyakarta. Dalam kondisi sakit Sultan berusaha menemui para pemimpin yang tersebar di beberapa tempat, sampai akhirnya tidak bisa kembali ke gedung Negara karena mendapat informasi kalau Belanda sudah ada di kantor pos. Sore harinya, Kolonel Van Langen datang ke Kraton dan memberikan map Kota Yogya yang didalamnya gambar Kraton dilingkari dengan tinta merah sebagai tanda tidak boleh keluar dengan alasan keamanan. Beliau tidak mengetahui apa yang terjadi di gedung negara pada saat itu. Pada waktu pendudukan Belanda di Yogyakarta tersebut, dengan diam-diam beliau membantu penghidupan para istri pejabat RI yang ditinggal para suaminya (ditangkap Belanda), agar tidak bisa didekati Belanda. Beliau dengan diam-diam juga bekerjasama dengan TNI dan para gerilyawan. Beliau mengetahui bahwa semangat penduduk sangat rendah karena pendudukan Belanda tersebut. Dengan diam-diam beliau tetap mendengarkan radio BBC dan VOA, dan mengetahui dari situ bahwa permulaan bulan Maret akan diadakan sidang security council yang akan membicarakan soal Indonesia. Berita tersebut menurut beliau bisa menaikkan kembali semangat penduduk dan kita bisa melakukan sesuatu untuk menarik perhatian. Pada bulan Februari 1949 gagasan untuk melakukan serangan umum di siang hari disampaikan ke Jendral Soedirman, disetujui dan dinyatakan agar Sultan langsung berhubungan dengan komandan yang bersangkutan (Kolonel Soeharto). Serangan Oemoem akan dilakukan 28 Februari tetapi gagal karena bocor, dan ditetapkan tanggal 1 Maret jam 6 pagi kalau sirene berbunyi. Serangan berhasil dilakukan terhadap markas Belanda di Hotel Tugu dan kita dapat menduduki Yogya sampai jam 3 sore. Jam 3 sore TNI mundur atas usul Sultan, karena ada informasi jam 2 siang kavaleri Belanda berangkat dari Magelang menuju Yogya. Menurut Sultan peristiwa tersebut sudah cukup untuk menarik perhatian security council (Komisi Tiga Negara utusan PBB dari Australia, Belgia dan Amerika), yang menyaksikan sendiri di Hotel Grant (sekarang Hotel Garuda). Kejadian tersebut juga disiarkan oleh pemancar kita di Gunungkidul, di Bukittinggi sampai ke India dan PBB. Ternyata kejadian tersebut mempunyai pengaruh yang besar, sehingga keputusan security council adalah republik harus kembali karena ternyata Negara RI masih ada, TNI tetap berperan, para pemimpin RI harus dibebaskan, Belanda bohong dengan pernyataan-pernyataannya selama ini dan yang paling penting adalah Belanda beserta seluruh tentaranya harus meninggalkan Indonesia (bila tidak mau, Amerika mengancam akan menghentikan Marshal Plant ke Belanda). Akibat dari keputusan tersebut diadakan perundingan antara Van Royen dan Roem yang memutuskan bahwa tentara Belanda harus keluar dari kota Yogyakarta pada tanggal 29 Juni 1949. Agar penarikan tentara Belanda dari Yogya berjalan lancar, maka Sri Sultan Hamengku Buwono IX bertanggung jawab atas keamanan penarikan tersebut. Untuk keperluan itu beliau ke Bangka untuk meminta kekuasaan penuh pengaturan tersebut dari Presiden Soekarno yang masih di Bangka ( pada kenyataannya Bung Karno dan Bung Hatta baru kembali dari Bangka pada tanggal 6 Juli 1949 ).

Menurut Romo Tirun, peristiwa 1 Maret mempermalukan Belanda. Pada tanggal 3 Maret 1949, Jendral Meyer ingin bertemu Sultan dan dilaksanakan jam 11. Dalam pertemuan tersebut Meyer menuduh Sultan menyalahgunakan kepercayaan Belanda karena dengan terang-terangan membantu para gerilyawan. Sultan tidak menanggapi dan balik bertanya bahwa sesuai dengan keputusan security council (Dewan Keamanan PBB) pemimpin-pemimpin Indonesia harus dibebaskan, mengapa justru ditanyai hal-hal begitu. Kalau mau ditangkap beliau sudah siap, kalau Kraton akan diperlakukan seperti Kepatihan (diperiksa dengan paksa dan ada barang Sultan yang hilang) maka bunuhlah lebih dahulu beliau. Sultan juga menyatakan bahwa kebebasan beliau seharusnya dinyatakan dalam surat, lalu menanyakan keberadaan surat tersebut. Pihak Belanda hanya menjawab surat tertinggal di meja dan kemudian meninggalkan Kraton.

Selanjutnya diceritakan juga bahwa beberapa waktu sebelum tentara Belanda ditarik dari Yogyakarta, dokter Sim Ki Ae (dokter pribadi Sultan) menghadap Sultan dan menyampaikan bahwa bila tentara Belanda ditarik dari Yogya teman-teman saya (Tionghoa) takut pada pribumi. Sultan disaksikan Prabuningrat menjawab, bila memang saudara-saudara Tionghoa mau tetap tinggal di Yogya, maka saya akan bertanggung jawab atas keamanannya. Bila mau ikut konvoi dengan Belanda ke Semarang, maka akan dicatat seumur hidup oleh warga Yogya bahwa Tionghoa ikut (pengikut) Belanda. Pada tanggal 29 Juni 1949 ternyata ada juga orang Tionghoa yang ikut Belanda konvoi ke Semarang, dan ada juga yang tetap tinggal di Yogyakarta.

Menurut Romo Tirun, fakta sejarah tersebut diceritakan untuk meluruskan sejarah,karena ada yang mengaku-aku sebagai penggagas Serangan Oemoem 1 Maret dan Yogya Kembali (Jendral Soeharto). Beliau juga prihatin karena hari-hari penting di Yogyakarta kurang mendapat perhatian pemerintah. Peringatan peristiwa tersebut hanya dilakukan oleh para sepuh pelaku sejarah saja (Pak Ruwiyono dan kawan-kawan), yang jumlahnya sekarang kurang dari 30 orang.

Disampaikan pula oleh Saudara Ruwiyono, selaku pelaku sejarah, bahwa para pelaku sejarah SO 1 Maret dan Yogyakarta Kembali atas izin Sultan Hamengku Buwono IX mendirikan tetenger atau monumen di dua tempat, di Keben dan Utara Hotel Garuda. Sebelum ada monumen tersebut, para pelaku memperingati peristiwa bersejarah itu hanya di rumah sesama pelaku bergantian. Setelah monumen berdiri, peringatan Yogyakarta Kembali diperingati di Hotel Garuda (kebetulan hari ulang tahun hotel tersebut sama yaitu tanggal 29 Juni) dan di Keben. Beliau juga mengatakan bahwa pemerintah Kota Yogyakarta memberi bantuan untuk pelaksanaan peringatan tiap tahunnya 2 juta rupiah, melalui Dinas Sosial Kota Yogyakarta. Sedangkan tiap Kelompok Pejuang (di Kota Yogyakarta ada 16 kelompok) mendapatkan bantuan 1 juta/tahun, dan ini sudah diterima sebanyak 2 kali.

Informasi mengenai bantuan tersebut dibenarkan oleh personil dari Dinas Sosial Kota Yogyakarta yang menghadiri sarasehan ini, yang selanjutnya mengatakan bahwa peristiwa tanggal 29 Juni 1949 terjadinya di Yogyakarta akan tetapi skopnya nasional.

Peran Sri Sultan Hamengku Buwono IX ternyata tidak hanya di Yogyakarta, tapi sampai kemana-mana. Menurut pengalaman Ibu Suliantoro Sulaeman, yang pada waktu peristiwa pendudukan Belanda di Yogyakarta ikut ayahnya (seorang Bupati) mengungsi di pegunungan, pada tahun 1947 sampai 1949 banyak orang Jawa yang memilih ikut Belanda (turun dari gerilya. Gerilya di sini dalam artian menghindarkan diri dari ditangkap Belanda). Hal ini tidak banyak diketahui orang. Ayah dari Bu Suliantoro bertahan 3 tahun di pegunungan, sempat pula diserang Belanda Setelah tentara Belanda ditarik dari Yogyakarta, para pengungsi turun konvoi masuk ke daerah Belanda (kota). Peristiwa tersebut terjadi dari kota Purwokerto sampai ke Wonosobo.

Menurut Prof. Johar, dari apa yang dibicarakan di atas perlu dilakukan redefinisi dan reaktualisasi dari peristiwa bersejarah di Yogyakarta.

Menurut Saudara Dedi (Dinas Pendidikan Provinsi DIY), pada tanggal 29 Juni 1949 yang terjadi adalah pengusiran Belanda dari Yogyakarta. Apakah Yogyakarta Kembali ? Khan Yogyakarta tidak pernah hilang ?. Perlu dilakukan pelurusan sejarah dulu, baru revitalisasi dan diaktualisasikan di zaman sekarang. Menurut Saudara Muhaimin diperlukan kiat-kiat tertentu, misalnya di media massa dilakukan polemik dan dialog untuk entry point pada masyarakat.

Hal senada juga dikatakan oleh Saudara Charis Zubair, yang menyatakan bahwa peristiwa kultural harus diinterpretasikan secara kultural tidak secara politis, terutama oleh yang sedang berkuasa. Suatu peristiwa sejarah (kesatuan dari orang, waktu dan peristiwa itu sendiri) tidak bisa diulang dan ditiru orang lain. Peristiwa tanggal 29 Juni 1949 menjadi peristiwa strategis karena saat itu tentara Belanda harus meninggalkan Indonesia. Perlu diketahui bahwa Belanda setengah hati mengakui kemerdekaan RI pada tanggal 17 Agustus 1945, dan kemerdekaan RI diakui Belanda setelah 27 Desember 1949 (Konferensi Meja Bundar).

Selanjutnya menurut Saudara Wahyuntono, sarasehan ini punya posisi penting dan strategis. Dahulu hari-hari bersejarah Yogyakarta diperingati oleh beratus-ratus pemuda (mahasiswa, pelajar, pramuka) yang masuk dari 5 penjuru kota Yogyakarta dan diiringi lagu Yogya Kembali. Mengapa sekarang tidak ada ?

Dari pembicaraan di atas, menurut Kepala Dinas Sosial Provinsi DIY ( Drs. Ikmal Hafzi) makna apa yang terkandung dalam peristiwa Yogya Kembali tidak tersiar. Tanggal 29 Juni 1949 juga tidak tersosialisasi, dan tanggal 6 Juli 1949 para pemimpin RI pulang ke Yogyakarta dari Bangka. Perlu segera dilakukan penelitian dan pelurusan sejarah mengenai hal ini, dan Dinas Sosial Provinsi DIY akan mendukung semangat Dewan Kebudayaan Provinsi DIY.

Dewan Kebudayaan Provinsi DIY akan segera melakukan penelitian dan pelurusan sejarah dengan instansi terkait (dalam hal ini Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai-nilai Tradisional). Sarasehan kemudian diakhiri dengan pernyataan Romo Tirun, bahwa kita tidak usah ragu-ragu dan tak perlu ada ketetapan lagi karena peristiwa Yogyakarta Kembali terjadi pada tanggal 29 Juni 1949. Dan menghimbau kepada pemerintah agar ikut memperingatinya.

Notulis,

Reno Gustantinah